Sabtu, 04 November 2017

perempuan yang baik benarkah untuk lelaki yang baik?

tulisan ini sejatinya adalah hasil renungan perjalanan Bekasi-Depok yang seharusnya bisa ditempuh dengan jarak 2 jam tetapi malah lebih dari itu, ya you know lah Bekasi hehe...peace. kalau disuruh ke Bekasi saya paling males, pertama menghabiskan waktu diperjalanan, kedua pas sampe Bekasi saya dianggurin gak d ajak ngobrol, harus inisiatif sendiri kalau mau ngapa-ngapain, sedangkan saya ini orang sunda yag sunda yang penuh dengan basa-basi. Sebut saja yang mengundang saya ke Bekasi adalah Uda x, beliau adalah kaka sepupu saya, hari ini saya diminta ke Bekasi karena beliau baru aja menikah dan mengadakan syukuran di rumah barunya. noted, nikah yang kedua kalinya. sebetulnya saya gak terlalu akrab sama beliau, terlebih beliau jarang sekali ngobrol dan istri pertamanya pun sama jadi kesannya kalau saya ke sana pasti dicuekin itu yang bikin males. Nah istri keduanya ini saya belum tahu seperti apa. ketika sUdah sampai Bekasi, ketemu Uda, salaman speak speak dikit akhirnya saya bantu-bantu mempersiapkan catering. Saya tanya sama Uni,
” ni mana istrinya angah” itu yang lagi bungkusin nasi.
Saya melihat sekilas dan ohh alhamdulillah berkerdung batin saya, saya samperin dan akhirnya bersalaman.
Ketika saya hendak sholat dan meminjam mukena pada istrinya si Uda dari situlah saya kemudian ngobrol, ternyata beliau lulusan sebuah Universitas ternama di Sumatera Barat, gak suka pacaran maunya langsung nikah. Dalam hati saya berpikir, wah bakal nyambung nih. Intinya banyak kesamaan konsep hidup yang kita miliki.
Seumur-umur saya gak pernah mau nginep di tempat Uda, tapi malam ini entah kenapa diajak nginp ditempat lainpun saya menolak. Rupanya , mungkin saya sudah merasa nyaman dengan istrinya Uda, tidak merasa dicuekin lagi. Intinya saya seneng banget Uda saya nikah saya beliau. Saya merasa beliau beruntung mendapatkan Uni novi, dan berpikir bahwa kedepannya Uda akan jauh lebih baik lagi terutama dalam hal ibadah.
Kemudian tiba-tiba dikepala saya muncul pertanyaan, kalau saya seneng banget Uda nikah sama Uni, trus bagaimana dengan Uni apakah beliau senang juga? Saya tahu Uda saya masih jauh dari kata sholih untuk hal ibadah wajib aja masih sering bolong (saya tahu ini ketika main ke sana). Lalu muncul lagi pertanyaan, jika nanti ternyata suami saya juga bukan suami sholih apakah saya akan siap menerimanya? Apakah saya bisa seperti Uni yang menerima Uda?. Seketika saya ingat sebuah ayat yg mengatakan bahwa laki-laki baik ya untuk perempuan baik begitu juga sebaliknya. Biasanya inilah yang menjadi alasan sebagian besar jomblo mempebaiki diri, katanya si memantaskan diri biar dapet pasangan yang baik pula. lantas apakah benar perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik, Lalu bagaimana dengan asiyah seorang wanita sholihah yang justeru bersuamikan Firaun. Wanita sholihah dapet lelaki sholihah itu anugerah, kalau kasusnya sperti Asiah siapkah kita? Kalau kata Ust Salim A Fillah si, kita ini tidak bisa menyandarkan kesholihahan kita pada pasangan kita. Kalau dapatnya yang baik ya Alhamdulillah, tapi kalau dapatnya yang gak baik maka menjadi sholihah harus tetap. Menjadi seperti Khodijah dan Muhammad tentu idaman setiap kita, namun jika Allah mentakdirkan menjadi seperti Asiyah dan Firaun? Semoga kita bisa tetap mengajak pasangan kita untuk menjadi lebih baik dan tetap tegar setegar Asiah mempertahankan keimanannya. Wa’allahua’lam.

*dalam perjalanan Bekasi-Depok

Allah yang menunjukkan jalanNya

Kupikir belajar Bahasa Arab adalah pelarian Dari belajar TOEFL Yang tak kunjung naik scorenya untuk lanjut kuliah, awalnya memang begitu....