Ketika pertama kali mengikuti halaqoh saya membayangkan akan
mendapatkan Murabbi yang sempurna, kafa’ah keilmuannya memadai, supel, ceria,
ramah dan care. Cerita yang saya dapatkan dari teman yang lebih dahulu
mengikuti halaqoh adalah demikian, maka tak heran jika saya mendambakan hal
semacamnya. Mulai lah hari pertama saya halaqoh, pertemuan pertama tidak
memberikan kesan yang begitu mendalam, pun dipertemuan selanjutnya.
Pertemuan-pertemuan berikutnya bertambah kosong, sang murabbi sering izin
jadilah halaqoh kami hambar, materi yang saya dapatkan juga itu-itu saja tidak
sesuai dengan manhaj, pertemuan halaqoh hanya satu jam, tidak ada sesi
curhat/Qodoyah, Murabbi selalu terkesan terburu-buru ingin mengakhiri
halaqohnya. saya tidak merasakan apa yang teman saya rasakan ketika
menceritakan halaqohnya yang penuh dengan kegembiraan.
Pernah suatu ketika saya memberikan ancaman kepada seorang teman,
kalau kondisi halaqoh seperti ini terus, saya tidak akan pernah mau halaqoh lagi.
selama 6 bulan saya merasakan hampa dalam setiap pertemuan haalqoh,. Sering
saya menyalahkan Murabbi dan menyalahkan keadaan kenapa saya tidak mendapatkan
Murabbi yang lebih baik.
Dulu Mutarabbi sekarng Murbbi, begitulah ketika dulu menjadi
Mutarabbi saya banyak menuntut ingin halaqoh yang seperti ini lah, harus begitu
lah dan sekarang saat saya menjadi seorang Murabbi saya merasakan bahwa Murabbi
bukan malaikat, Murabbi hanyalah manusia biasa yang diberikan amanah untuk membina,
pun bukan berarti karena Murabbi lebih luas ilmunya namun karena Murabbi sudah
lebih dahulu merasakan pembinaan dan akhirnya membina. Dalam hal keilmuan juga
tidak mesti Murabbi yang paling tau segalanya, bisa jadi Mutarabbi lebih pandai
dalam beberapa hal ketimbang Murabbinya, itu hal yang wajar karena halaqoh
adalah sarana tempat kita belajar dan media belajar tidak mesti harus Murabbi
bisa jadi berasal dari teman halaqoh.
Murabbi saya tidak bisa menyampaikan materi, kurang asyik, terlalu
serius, kritik ini pernah saya sampikan kepada seorang teman, dan kini saat saya menjadi Murabbi saya sadar, saya bukan
seorang public speaking yang baik, bahkan meyampaikan materi dipertemuan
selanjutnya saya harus mempelajarinya minimal 3 hari sebelum pertemuan. Saya membayangkan
Murabbi saya pun seperti itu, berusaha menyampikan materi dengan sebaik-baiknya
namun sekali lagi Murabbi bukan dewa yang segalanya harus sempurna.
Ada rasa bersalah tatkala dulu begitu dengan mudahnya saya menjudge
Murabbi, menyalahkannya karena tidak bisa menghidupkan halaqoh. Padahal menghidupkan
halaqoh bukan hanya tugas seorang Murabbi namun peran serta Mutarabbi lah yang
paling penting. Ketika dulu saya berfikir Murabbi adalah seorang yang sempurna,
maka hari ini saya percaya bahwa sempurnanya seorang Murabbi adalah karena
Mutarabbinya. Murabbi dan Mutarabbi adalah 2 hal yang saling keterikatan
tidak mungkin bisa melepaskannya satu
sama lain. Hari ini mari kita syukuri siapapun Murabbi kita, karena beliau
adalah seseorang yang telah Allah turunkan untuk mendampingi kita menuju jalanNya,
seorang pahlawan yang rela meluangkan waktunya ditengah segudang aktivitas
kehidupannya, seorang yang bersedia hadir meski ditengah cuaca yang terik,
ditengah derasnya hujan, seorang yang amat sangat mengharapkan Mutarabbinya
menjadi muslim yang taat, seseorang yang dalam do’a rhobitohnya selalu
membayangkan wajah kita, seseorang yang kelak Allah pertemuakn kita kembali di
JannahNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar