
” ni mana istrinya angah” itu yang lagi
bungkusin nasi.
Saya melihat sekilas dan ohh alhamdulillah berkerdung
batin saya, saya samperin dan akhirnya bersalaman.
Ketika saya hendak sholat dan meminjam mukena pada
istrinya si Uda dari situlah saya kemudian ngobrol, ternyata beliau lulusan
sebuah Universitas ternama di Sumatera Barat, gak suka pacaran maunya langsung
nikah. Dalam hati saya berpikir, wah bakal nyambung nih. Intinya banyak
kesamaan konsep hidup yang kita miliki.
Seumur-umur saya gak pernah mau nginep di tempat Uda,
tapi malam ini entah kenapa diajak nginp ditempat lainpun saya menolak. Rupanya
, mungkin saya sudah merasa nyaman dengan istrinya Uda, tidak merasa dicuekin
lagi. Intinya saya seneng banget Uda saya nikah saya beliau. Saya merasa beliau
beruntung mendapatkan Uni novi, dan berpikir bahwa kedepannya Uda akan jauh
lebih baik lagi terutama dalam hal ibadah.
Kemudian tiba-tiba dikepala saya muncul pertanyaan,
kalau saya seneng banget Uda nikah sama Uni, trus bagaimana dengan Uni apakah
beliau senang juga? Saya tahu Uda saya masih jauh dari kata sholih untuk hal
ibadah wajib aja masih sering bolong (saya tahu ini ketika main ke sana). Lalu
muncul lagi pertanyaan, jika nanti ternyata suami saya juga bukan suami sholih
apakah saya akan siap menerimanya? Apakah saya bisa seperti Uni yang menerima Uda?.
Seketika saya ingat sebuah ayat yg mengatakan bahwa laki-laki baik ya untuk
perempuan baik begitu juga sebaliknya. Biasanya inilah yang menjadi alasan
sebagian besar jomblo mempebaiki diri, katanya si memantaskan diri biar dapet
pasangan yang baik pula. lantas apakah benar perempuan yang baik hanya untuk
laki-laki yang baik, Lalu bagaimana dengan asiyah seorang wanita sholihah yang
justeru bersuamikan Firaun. Wanita sholihah dapet lelaki sholihah itu anugerah,
kalau kasusnya sperti Asiah siapkah kita? Kalau kata Ust Salim A Fillah si,
kita ini tidak bisa menyandarkan kesholihahan kita pada pasangan kita. Kalau dapatnya
yang baik ya Alhamdulillah, tapi kalau dapatnya yang gak baik maka menjadi
sholihah harus tetap. Menjadi seperti Khodijah dan Muhammad tentu idaman setiap
kita, namun jika Allah mentakdirkan menjadi seperti Asiyah dan Firaun? Semoga kita
bisa tetap mengajak pasangan kita untuk menjadi lebih baik dan tetap tegar
setegar Asiah mempertahankan keimanannya. Wa’allahua’lam.